Halaman

Minggu, 29 Januari 2012

STOP "SINETRON"


Sudah tidak asing lagi di telinga kita tentang kata SINETRON. Sejarah awal SINETRON dimulai dari tayangan yang berbudaya, dipopulerkan oleh Sjuman Djaya, salah satu tokoh pendiri Institut Kesenian Jakarta. Namun SINETRON sekarang mengalami pendzaliman terhadap insan film yang ingin berkarya dengan visi dan misi yang baik. SINETRON sekarang sudah tercemar virus-virus busuk dari kalangan tertentu yang ISI dari cerita dalam tayangan tersebut tidak mempunyai nilai budaya atau karakter sebuah bangsa Indonesia sendiri.

Oestad Film ingin mengajak para pembaca, agar mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk pandai-pandai memilih tayangan yang bermafaat. Saat ini ada FTV (Film Televisi), dimana isi dari cerita film tersebut menceritakan sebuah kebudayaan yang ada di salah satu daerah Indonesia diantaranya Yogyakarta, Bandung, Bali, Solo, dan lainnya. Mungkin ini dapat menjadi alternatif untuk melihat sebuah hiburan televisi ketimbang SINETRON.

Kamis, 26 Januari 2012

JIHAD MELALUI FILM

Oestad Film berjihad melalui media audio visual. Mengajak para teroris film untuk membuat perubahan bersama dengan media audio visual.
Tidak ada karya yang bagus atau buruk,,,yang ada hanyalah suka atau tidak suka.
Jihad...Jihad dan Jihad untuk meracuni generasi penerus bangsa dengan film yang 'bermoral'.
Mencoba merangkak dari sebuah karya independent untuk mencapai karya yang mendunia.
Bersama-sama berapresiasi...
Bersama-sama menjadi manfaat bagi insan di sekitarnya...

Berbagi 'Laskar Pencerah'


Melalui Forum Film Pelajar Indonesia-Toronto Film Festival, Oestad Film mencoba berbagi dengan teman - teman pelajar Indonesia dengan sebuah film pendek 'Laskar Pencerah'.
Oestad film bercerita tentang sebuah sekolah alternatif/komunitas belajar yang ada di Salatiga, Jawa Tengah.
Bahwasannya sekolah tidak harus mahal dan tidak harus formal, karena pada dasarnya di sekolah adalah belajar, begitu juga dengan sebuah komunitas belajar tersebut.
Mengangkat cerita tentang pendidikan dan sosial yaitu seorang murid miskin komunitas belajar yang selalu berusaha untuk tetap bisa bersekolah dan berprestasi walaupun orang tuanya tidak setuju kalau Laskar (tokoh utama) sekolah. Film ‘Laskar Pencerah’ yang berlatar di kota Salatiga, memberikan penggambaran dan renungan kepada penonton bahwa status sosial bukan menjadi halangan bagi siapapun untuk bisa maju dan berprestasi, perubahan sistem pendidikan maupun sistem yang sudah membentuk pola pikir rakyat Indonesia tidak membuat para anak di komunitas belajar untuk berhenti belajar dengan cara mereka yang berbeda dengan sekolah formal, belajar disini adalah belajar apapun sesuai dengan keinginan si anak. Peran seorang guru adalah sebagai pendamping dan fasilitator mereka.
Tokoh Laskar yang berasal dari keluarga kurang mampu memberikan cerminan bahwa dengan keterbatasan yang dimiliki mampu meraih cita – cita yang di inginkan, prinsip dari tokoh seorang Laskar ini adalah ingin “bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya”. Konsep dasar dari film ‘Laskar Pencerah’ ini adalah “menulis”. Menulis adalah suatu kegiatan yang amat mulia. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “bila umurmu tidak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan”. Dengan begitu, menulis dapat memberikan kehidupan abadi dan tidak kalah pentingnya, bahwa ‘menulis dapat menampakkan diri kita, bahwa kita benar - benar ada, benar - benar hidup’.     
Film ‘Laskar Pencerah’ di produksi dengan menggabungkan kru dari empat kota, yaitu Jakarta(FFTV IKJ), Jogja(AKINDO), Semarang dan Salatiga(QARRYAH THAYYIBAH dan KOMUNITAS UKSW) dan didukung sepenuhnya oleh Fakultas Film dan Televisi IKJ dan Bank Mandiri.